May 12, 2019

Mengasah Empati lewat 27 Steps of May

Film bukan hanya soal hiburan saja. Film juga bisa jadi alat tepat untuk propaganda, karena dianggap sebagai media yang paling mudah mempengaruhi seseorang. Nggak percaya? Coba ingat-ingat lagi bagaimana dulu, di tahun 90-an, ketika Pak Harto masih berkuasa, seluruh televisi di Indonesia WAJIB menayangkan film G30S/PKI di tanggal 30 September setiap tahunnya. Dan lihat hasilnya pada pendapat beberapa orang saat ini tentang peristiwa tersebut.

Film juga bisa dijadikan wadah untuk menyampaikan keresahan atas isu-isu tertentu yang terkadang masih tabu dan jarang diperbincangkan, contohnya bisa kita lihat pada film 27 Steps of May.

Cerita berawal dengan May yang sedang dengan gembira bermain di pasar malam, hingga sebuah tragedi mengubah senyumnya. May diculik dan diperkosa. Setelah itu hidup May tidak lagi sama. May yang dulu periang, kini berubah diam dan menolak perubahan. Selama 8 tahun, May sengaja berlindung dibalik rutinitas dan menolak keluar kamar. Kesehariannya berjalan dengan rangkaian kegiatan yang sama: bangun tidur, menyetrika baju dengan teliti hingga licin, menghias boneka, makan makanan hambar dan diakhiri dengan lompat tali di dalam kamar hingga lelah kemudian tidur. Sedikit saja ada yang berbeda dari rutinitasnya, May akan tantrum dan menyilet pergelangan tangannya. May terluka, jiwa dan raga.

Luka juga dirasakan oleh Bapak. Selama 8 tahun dia memendam perasaan bersalah dengan manjadi petarung yang buas. Setiap May menyilet pergelangan tangannya, Bapak melampiaskan kemarahannya di atas ring. Tiap hantaman lawan yang mendarat di wajahnya seolah adalah penebus perasaan bersalahnya atas kegagalannya menjaga putri semata wayangnya.

Ketakutan May akan dunia luar setelah peristiwa yang menimpanya, membuat May mengurung diri di kamar. Bahkan ketika terjadi kebakaran di sekitar rumahnya, May harus digeret Bapak untuk keluar yang berujung pada May kembali menggoreskan silet ke pergelangan tangannya karena tantrum.

27 Steps of May memang santer menyuarakan luka yang dialami oleh korban kekerasan seksual dan keluarganya. Cerita yang disampaikan dan akting para pemainnya sangat nyata menggambarkan apa yang sering dialami korban kekerasan seksual.

30 menit terakhir adalah bagian kunci dari film ini. Saya bahkan sempat menangis terisak melihat May yang mengalami panic attack karena kembali mengingat potongan-potongan kejadian kelam itu. Bahkan, saya pernah mendengar cerita seorang penyitas yang menonton film ini sempat terisak hebat karena merasa relate dengan apa yang dia alami dulu.

Korban kekerasan seksual di Indonesia memang sering diabaikan, terlebih lagi pasal di KUHP yang serba bias membuat korban tidak mendapatkan jaminan keamanan dan rehabilitasi. Malah seringnya, alih-alih dibela korban justru disalahkan dan dituduh ambil bagian dalam kejadian.

Budaya patriarki yang cenderung menyalahkan koraban ikut menjadi salah satu penyebab mengapa banyak korban kekerasan seksual menjadi bungkam. Mereka takut akan sangsi sosial berupa hinaan dan cibiran dari masyarakat dan memilih diam meskipun jiwanya mati perlahan.

Film ini juga memberikan pencerahan bahwa tindakan kekerasan seksual tidak hanya membawa luka pada korban, tapi juga pada kerabat terdekat korban. Jadi, kekerasan seksual bisa dibilang membawa dampak kehancuran yang cukup masih dan seharusnya tidak dianggap sepele.

Semoga dengan adanya film ini, pemahaman kita terhadap korban kekerasan seksual dan keluarganya menjadi lebih terbuka. Semoga tidak ada lagi korban yang harus menanggung beban sosial yang salah tempat. Semoga tidak ada May-May lain yang harus bungkam bertahun-tahun.

No comments:

Post a Comment