May 17, 2019

Cimeng.

Entah apa yang dialami oleh Cimeng sebelum datang ke rumah, sampai dia melakukan segala cara demi bisa dipelihara.

Siang itu matahari cukup terik. Seperti kucing liar lainnya, Cimeng datang ke rumah. Kelaparan, minta makan. Tubuhnya kurus sekali, bobotnya bahkan lebih ringan dari si Unyil yang waktu itu masih berusia sekitar 4 bulan.

Tidak seperti kucing liar yg lain, setelah kenyang Cimeng nggak mau pergi. Dia menetap di terah rumah, menolak diusir. Waktu itu saya berjanji, nggak mau nambah kucing lagi di rumah. Selain karena masih merasa bersalah dengan kucing yang hilang, pertimbangan lainnya adalah saya kuatir gaji saya tidak bisa menutupi biaya makan piaraan yang waktu itu jumlahnya 4 ekor.

Tapi, Cimeng seperti memohon untuk dipelihara. Dia sangat penurut, bahkan selalu nyaut ketika diajak ngomong. Sekali waktu Babab pernah berniat buang Cimeng ke lapangan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumah. Naik motor, Cimeng diangkut menggunakan kardus. Tiba di lokasi pembuangan, Cimeng tetap bergeming. Tidak selangkah pun dia keluar dari kardus. Wajahnya yang polos gemas bikin Babab nggak tega. Akhirnya, Cimeng pulang lagi.

Awal-awal Cimeng sempat sangat merepotkan. Eek sembarangan, tak tau aturan. Padahal bak pasir sudah disediakan, kalau kebelet ya tinggal ngeden doang. Tapi Cimeng sepertinya belum kenal konsep eek di bak pasir. Wajar, namanya juga dulu tinggalnya di jalanan yang kalau kebelet beneran tinggal ngeden sesukanya di mana pun.

Cimeng sempat berkali-kali diancam mau dibuang sama Ibu. Wajar juga, waktu pertama punya kucing juga Ibu marah-marah melulu. Berkali-kali mengancam buang kucing kalau pipis eek sembarangan yang sekarang malah paling manjain piaraan.

Karena kelakuannya, Cimeng harus menjalani masa orientasi di rumah. Dia hanya boleh tinggal di teras saja. Tidak diizinkan masuk rumah, walaupun sebatas ruang depan pintu. Ini harus saya lakukan, daripada memaksa Cimeng tinggal di dalam rumah yang berisiko dia dibuang oleh Ibu yang masih emosi karena kelakuannya yang suka buang hajat sembarangan.

Sebulan berselang, hati Ibu mulai luluh. Muka Cimeng yang menggemaskan dan kebiasaannya celentang pamer perut mengalahkan emosi Ibu. Akhirnya Cimeng boleh tinggal di dalam rumah bersama saudaranya yang lain meskipun harus denger Ibu merajuk soal rumah yang bau taik kucing hampir tiap hari (padahal ngga ada taik kucing sama sekali).

NGOAHAHAHAHAAA AKHIRNYA MASUK RUMAAH!!!

Saking senangnya dibolehin tinggal di dalam rumah, Cimeng nggak berani main keluar. Setiap dia main kejar-kejaran dengan kucing saya yang lain, Cimeng selalu berhenti di pintu depan. Sepertinya dia takut jika keluar selangkah saja dia nggak boleh balik lagi masuk ke rumah. Akhirnya, dia hanya berani duduk di depan pintu saja, sambil menatap keluar dengan nanar, menyimpan keinginan dalam-dalam untuk lari-larian di jalan.

Kesibukan sehari-hari: goleran dengan berbagai macam gaya dan posisi. 
Sekarang, sudah sekitar 5 bulan Cimeng ada di rumah. Udah yakin kalau dirinya diterima dengan sungguh-sungguh di rumah. Sekarang, badannya udah berat. Perutnya udah mlendung bulat akibat makan yang ngga berhenti-berhenti. Di antara ke-5 kucing saya, Cimeng pegang peranan penting, yaitu menghabiskan dryfood yang tersisa di mangkok siapapun.

Kesibukannya masih sama, kalau lagi ngga lari-larian di jalanan ngejar kupu-kupu, berarti lagi goleran ke sana kemari sambil pasang muka imut menggemaskan. Eh, kalau yang itu sih kayaknya udah default, nggak bisa diganti.

Nih, buktinya!

Muka berbahaya.



No comments:

Post a Comment