Setelah berkeliling ke berbagai
festival film di dunia, akhirnya Marlina mendarat juga di bioskop Indonesia. Film
ini awalnya diberi judul ‘Perempuan’ oleh pemilik ide ceritanya, Garin Nugroho.
Lalu diubah menjadi ‘Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak’ oleh sang
sutradara, Mouly Surya.
Saya udah penasaran banget pengen
nonton ini sejak nonton trailer-nya di yutup Mei lalu. Selain music
scoring-nya yang catchy, dari trailernya
aja udah ketauan kalo film ini bakalan punya penataan sinematografi yang apik.
Belum lagi ceritanya yang cukup unik, tentang perempuan yang nenteng-nenteng
kepala manusia sambil naik kuda. Udah gitu nyantai pulak dia, padahal orang
yang ngeliat udah pada ketakutan.
Okede, biar makin penasaran, saya
kasih sedikit sinopsisnya yaa.
Jadi, Marlina ini adalah seorang
janda yang baru aja ditinggal mati suaminya. Suatu hari, dia didatangi oleh
komplotan perampok yang ingin menjarah harta bendanya (yaiyalah, namanya juga
perampok. Kalo ngajakin senam poco-poco namanya bubibu PKK). Yang bikin
ngeselin, perampok ini ngga cuma mau ngerampok tapi juga ngancem untuk
memperkosa Marlina. Sampe sini, kebayang ngga gimana takutnya Marlina sebagai
perempuan yang hidup di tengah sabana luas dan harus menghadapi 7 orang
perampok SENDIRIAN? Kabur? Ngga mungkin. Dia tinggal di area jin buang anak,
jauh dari mana-mana. Pilihannya cuma 2: ngelawan atau pasrah dirampok dan
di-gang bang 7 orang. Sudah jelas, Marlina memilih untuk melawan dengan segala
cara yang dia bisa. Gimana cara ngelawannya? Ya, nonton filmnya dong aah~
Ngga perlu banyak alasan untuk
nonton film ini, cukup nonton trailer-nya. Dari situ aja saya udah ngerti banget
kalo film ini bakalan mengeksploitasi abis-abisan (in a good way) cantiknya
alam Sumba lewat penataan sinematografi yang artistik. Dan bener aja, pas
nonton saya ngga habis-habsnya melongo karena kagum liat Sumba yang
cantiiiiiiik banget. Mouly Surya pinter banget bikin kontur alam Sumba yang
khas dengan sabana berwarna keemasan untuk menjadikannya layer antar babak.
Banyaknya scene yang diambil secara statis seperti ngajak penonton untuk
sejenak menghayati keindahan Sumba, dan gimana serba terbatasnya kehidupan di
sana. Oh, ngga cuma kecantikan alamnya aja. Kita juga diajak mempelajari budaya
khas Sumba dari wardrobe yang digunakan tiap pemain, mengunyah sirih dan budaya
membungkus mayat keluarga di Sumba.
Alur cerita yang disampaikan per
babak membuat cerita mudah dimengerti. Premisnya disampaikan di awal tiap babak, jadi penonton cukup membayangkan bagaimana premis ini akan disampaikan menjadi
beberapa adegan dan percakapan. Meskipun begitu, ending dari film ini tetap
ngga mudah ditebak. Awalnya saya pikir si Marlina ini akan ganti profesi jadi ketua
perampok, menggantikan orang yang dia penggal kepalanya. Ternyata nggak. Endingnya
jauh meleset dari tebakan saya (atau emang sayanya aja yang bloon nebak film
haha).
Sekilas film ini gayanya mirip
Kill Bill. Mulai dari premis yang dijadikan judul di tiap babak sampai ke music
scoring yang mengingatkan dengan film-film koboy. Tapi, itu ngga bikin film ini
jadi buruk, malah jadi hawa baru di tengah perfilman Indonesia yang kebanyakan
cari tema yang aman-aman aja.
Oh, jangan lupakan akting yang
diperankan oleh aktris dan aktornya. SUPERB BANGET! Entah berapa lama aktor dan
aktris ini mempelajari logat Sumba sampe fasih kayak gitu. Kalo nonton sambil
ditutup matanya (egimana?) pasti kita nyangka itu yang ngomong orang Sumba beneran
saking fasihnya. Marsha Timothy juga sukses banget memerankan perempuan Sumba
yang sederhana tapi kuat dan tangguh. Ngga heran dia berhasil mengalahkan Nicole Kidman jadi aktris terbaik di Sitges International Fantastic Film Festival.
Karakter-karakter yang ada di
film ini juga sangat kuat. Dari awal nonton, saya udah kebawa emosi dengan kelakuan
komplotan rampok yang emang pada minta digorok lehernya. Ada juga karakter
seorang ibu yang dibawakan secara natural dan khas ibu-ibu yang suka kasih tips
yang ajaib. Semua karakter dimainkan sesuai dengan porsinya, ngga berlebihan
tapi ngga kekurangan.
Overall, Marlina saya kasih
rating 5/5. Iya, segitu bagusnya sampe dikasih rating pol begitu. Ngga cuma
bagus secara teknis, isu yang diangkat film ini juga penting banget untuk
diketahui dan dibahas sama-sama. Tentang bagaimana perempuan sering direndahkan
tempatnya, dianggap makhluk lemah tak berdaya sehingga wajar aja dipermainkan
dan diancam seenaknya. Udah bukan rahasia umum lagi kalo perempuan korban
perkosaan sering kali justru disalahkan dan digampangkan kasusnya.
Banyak yang bilang film ini
terasa sangat feminis, tapi buat saya Marlina ini bercerita tentang
perempuan-perempuan sederhana yang hanya tahu bahwa mereka diperlakukan tidak
adil dan memperjuangkan haknya. Oh, bagian paling menariknya (lagi) adalah meskipun Marlina tidak merasa berdosa membunuh perampok yang memperkosanya, dia tetap dihantui perasaan bersalah. Ini menunjukkan bahwa meskipun terlihat tangguh dan fearless, Marlina juga masih memiliki soft spot khas perempuan biasa (atau manusia pada umumnya).
Masih ngga percaya dengan review
yang saya tulis? Silakan monggo tonton sendiri filmnya, kayaknya masih anteng
tuh nangkring di bioskop-bioskop kesayangan Anda.
Ingat ya, pemirsa. Jangan bawa adik, anak, ponakan atau sepupu yang masih kecil di bawah umur untuk nonton film ini. Selain bakalan ganggu kalo ntar mereka bosen dan nangis, film ini juga terlalu brutal untuk mereka. Kasian, ntar jadi pada ngga doyan makan. Kalo ngga punya temen nonton, udah nonton sendiri aja ga papa. Ngga bakal ada yang tau juga kalo kalian ngga kasih tau.
Scene favorit. Baddass bish banget mukenya. Gambar nyomot dari sini |
No comments:
Post a Comment