Beberapa minggu lalu, teman kecil
saya datang ke rumah. Sejak memilih untuk merantau ke Bali, kami memang tidak
pernah bertemu lagi, entah berapa lama. Seperti kawan lama pada umumnya, dia
datang membawa kabar bahagia. Seminggu lagi dia akan menikah dengn kekasih hati
yang sudah 6 tahun dipacarinya. Sebagai teman baik, saya turut bahagia dan
mendoakan semoga acara lancar sampai hari H dan pernikahanya dihujani dengan
kebahagian. Kami pun lanjut ngobrol santai sambil berbagi kisah selama
terpisah.
Bertahun-tahun tidak bertemu,
banyak perubahan terjadi pada dirinya. Selain timbangan yang bertambah
bebannya, dia juga sudah memutuskan untuk mantap berhijab. Saya sangat
menghargai jalan hidup apa pun pilihannya dan apa takaran suksesnya. Sampai
kemudian dia mulai usil bertanya tentang perubahan yang terjadi pada diri saya
yang gini-gini aja. Saat itu rasanya saya pengen suruh dia pulang aja. Ahaha
:))
Selama kami mengobrol, terlihat
sekali betapa bahagianya dia mendapatkan calon suami (yang menurutnya) mapan
dengan masa depan gilang gemilang. Belum lagi keputusannya berhijab yang dipuji
ibu saya, katanya “Cantik banget sih sekarang udah pake jilbab.” Oh, pujian
tersebut juga disertai dengan jawilan gemas didagu. Dia pun tersenyum bangga
dan saya mulai menunjukan gejala mual-mual tanpa sebab.
Trus apa yang bikin saya terusik?
Ngiri karena temen udah mau nikah dengan calon suami idaman sedangkan saya
masih jomblo menjelang akut?
Buat yang udah mulai bertanya
pertanyaan di atas, sekarang saya jelasin deh.
Jadi gini, menurut saya setiap
orang mempunyai ukuran suksesnya masing-masing. Beberapa orang mungkin mengukur
suksesnya dengan menikah dan menjadi orang tua di usia muda. Beberapa orang lagi
mengukur suksesnya dengan berapa banyak barang mewah yang bisa dibelinya. Yaa
semuanya tentu sah-sah saja, kan yang bikin ukurannya sendiri-sendiri. Tapi
yang menjadi masalah dan amat mengganggu saya adalah ketika ada orang yang
berusaha men-general-kan suksesnya dengan sukses orang lain.
Sampe sini, udah ngerti apa yang
bikin saya mual-mual dengan kedatangan teman saya tadi? Masih belom juga? Oke,
kalo gitu saya lanjut jelasin lagi.
Seperti tadi di paragraf atas
saya bilang, takaran kesuksesan orang berbeda-beda dan buat saya tidak semestinya
orang yang merasa superior terhadap apa yang telah dicapainya, apalagi terhadap
orang lain baik yang memiliki takaran yang sama maupun yang berbeda. Tidak
seharunya juga mereka meghakimi atas pilihan sukses orang lain. Hukumnya sama
aja kayak masuk rumah orang tanpa seijin yang punya rumah, terus tidur di
kasurnya. NGGA SOPAN!
Jadi gitu, ngerti kan kenapa saya
amat sangat tidak nyaman dengan pertemuan singkat dengan teman kecil saya tadi.
Ada batas-batas dan area-area tertentu yang harus tetap dijaga kecuali jika
kalian memang teman dekat yang sudah mengenal satu sama lain dan berbagi banyak
keluh kesah. Percayalah, jika mau sedikit lebih berusaha ada banyak bahan obrolan yang menyenangkan daripada mengusik hal-hal pribadi yang menyakiti.
No one has made himself great by showing how small someone else is –Irvin
Himmel-
No comments:
Post a Comment