April 10, 2016

Tentang sukses yang berbeda-beda

Beberapa minggu lalu, teman kecil saya datang ke rumah. Sejak memilih untuk merantau ke Bali, kami memang tidak pernah bertemu lagi, entah berapa lama. Seperti kawan lama pada umumnya, dia datang membawa kabar bahagia. Seminggu lagi dia akan menikah dengn kekasih hati yang sudah 6 tahun dipacarinya. Sebagai teman baik, saya turut bahagia dan mendoakan semoga acara lancar sampai hari H dan pernikahanya dihujani dengan kebahagian. Kami pun lanjut ngobrol santai sambil berbagi kisah selama terpisah.

Bertahun-tahun tidak bertemu, banyak perubahan terjadi pada dirinya. Selain timbangan yang bertambah bebannya, dia juga sudah memutuskan untuk mantap berhijab. Saya sangat menghargai jalan hidup apa pun pilihannya dan apa takaran suksesnya. Sampai kemudian dia mulai usil bertanya tentang perubahan yang terjadi pada diri saya yang gini-gini aja. Saat itu rasanya saya pengen suruh dia pulang aja. Ahaha :))

Selama kami mengobrol, terlihat sekali betapa bahagianya dia mendapatkan calon suami (yang menurutnya) mapan dengan masa depan gilang gemilang. Belum lagi keputusannya berhijab yang dipuji ibu saya, katanya “Cantik banget sih sekarang udah pake jilbab.” Oh, pujian tersebut juga disertai dengan jawilan gemas didagu. Dia pun tersenyum bangga dan saya mulai menunjukan gejala mual-mual tanpa sebab.

Trus apa yang bikin saya terusik? Ngiri karena temen udah mau nikah dengan calon suami idaman sedangkan saya masih jomblo menjelang akut?

Buat yang udah mulai bertanya pertanyaan di atas, sekarang saya jelasin deh.

Jadi gini, menurut saya setiap orang mempunyai ukuran suksesnya masing-masing. Beberapa orang mungkin mengukur suksesnya dengan menikah dan menjadi orang tua di usia muda. Beberapa orang lagi mengukur suksesnya dengan berapa banyak barang mewah yang bisa dibelinya. Yaa semuanya tentu sah-sah saja, kan yang bikin ukurannya sendiri-sendiri. Tapi yang menjadi masalah dan amat mengganggu saya adalah ketika ada orang yang berusaha men-general-kan suksesnya dengan sukses orang lain.

Sampe sini, udah ngerti apa yang bikin saya mual-mual dengan kedatangan teman saya tadi? Masih belom juga? Oke, kalo gitu saya lanjut jelasin lagi.

Seperti tadi di paragraf atas saya bilang, takaran kesuksesan orang berbeda-beda dan buat saya tidak semestinya orang yang merasa superior terhadap apa yang telah dicapainya, apalagi terhadap orang lain baik yang memiliki takaran yang sama maupun yang berbeda. Tidak seharunya juga mereka meghakimi atas pilihan sukses orang lain. Hukumnya sama aja kayak masuk rumah orang tanpa seijin yang punya rumah, terus tidur di kasurnya. NGGA SOPAN!

Jadi gitu, ngerti kan kenapa saya amat sangat tidak nyaman dengan pertemuan singkat dengan teman kecil saya tadi. Ada batas-batas dan area-area tertentu yang harus tetap dijaga kecuali jika kalian memang teman dekat yang sudah mengenal satu sama lain dan berbagi banyak keluh kesah. Percayalah, jika mau sedikit lebih berusaha ada banyak bahan obrolan yang menyenangkan daripada mengusik hal-hal pribadi yang menyakiti.


No one has made himself great by showing how small someone else is –Irvin Himmel-

No comments:

Post a Comment