April 22, 2014

Jalanan Movie





Mungkin, bagi sebagian orang film hanya sebuah tontonan hiburan di kala iseng saja. Tapi bagi saya sebuah film mempunyai makna masing-masing, bahkan film horor esek-esek. Cuma, ya gitu, maknanya esek-esek juga.

Film adalah salah satu alat propaganda paling ampuh. Melalui film, kita bisa menyampaikan pesan apapun, bahkan menanamkan doktrin. Masih ingat kan alat propaganda pemerintahan Orde Baru yang berjudul  ‘G30S/PKI’ dan bagaimana berhasilnya doktrin ditanamkan? Tenang, ngga usah tegang gitu. Saya bukan mau bahas tentang film membosankan itu kok, saya cuma mau ikutan euphoria orang-orang setelah menonton sebuah film dokmenter keren berjudul “Jalanan Movie”.

Kabarnya, film yang diproduseri dan juga disutradarai oleh Daniel Ziv ini memakan waktu 7 tahun dalam proses pembuatannya. Sesuai dengan judulnya, film dokumenter ini mengangkat kisah seputar kehidupan tiga pengamen jalanan (the buskers) yaitu Boni, Ho dan Titi.
  
Boni, karena tidak mau melihat ibunya terlalu lelah menjadi buruh cuci maka dia memutuskan untuk berhenti sekolah pada usia 8 tahun dan turun ke jalanan untuk membantu ibunya. Sudah beragam pekerjaan jalanan yang Boni jalani, seperti pedagang rokok gendongan, loper koran, pengemis dan sekarang menjadi pengamen. Suatu waktu Boni pernah berada dalam toilet di sebuah mall besar di Jakarta dan katanya “Orang yang dateng kesini macem-macem. Ada orang luar, orang Barat, orang Cina, orang Jepang, orang mana aja deh. Tahinya sih mau gabung, manusianya yang nggak mau gabung. Kamar mandinya sih mantep. Tapi nggak ada air. Ceboknya pake tisu, jorok!” haha =))

Sepuluh tahun tinggal di kolong jembatan membuat Boni memiliki persepektif sendiri tentang Jakarta. Misalnya, bagaimana dia menggambarkan damainya tidur dengan diiringi oleh deru mesin mobil diatasnya. Baginya, deru mesin mobil serupa orkestra merdu pengantar tidur. Ironis.

Ada Ho, yang nama aslinya Bambang Sri Mulyono (kalau saya ngga salah ingat), asli Purworejo. Berambut gimbal. Banyak kalimat-kalimat filosofis yang keluar dari mulutnya. Pikirannya sederhana dan apa adanya. Murni. Yang paling saya suka dari quote-nya adalah “Hidup itu harus dihidupkan, jangan dimatikan. Kamu juga harus mencintai dirimu sendiri, jangan cintai dia. Dia belum tentu cinta sama kamu, jadi mending kamu cintai diri kamu sendiri” haha =))

Pada film ini diceritakan Ho yang jatuh cinta pada seorang wanita yang ditinggal suaminya dan mempunyai anak tiga. Adegan mereka berdua kencan di sebuah rumah makan Padang sangat lucu dan manis. Bagaimana Ho dengan gampangnya melamar wanita pujaannya sambil mengunyah. Terkesan main-main namun serius.

Kemudian ada Titi, tokoh perempuan satu-satunya dalam film ini. Hasil mengamen dalam sebulan yangpas-pasan harus dia bagi untuk keluarganya di kampung, jajan anaknya dan uang rokok suaminya. Bagi saya, Titi adalah sosok perrmpuan tangguh yang pantang mengeluh bagaimanapun hidup mengajaknya ‘bercanda’. Dia berjibaku memenuhi segala kebutuhan keluarganya tanpa mengeluh dan tetap tersenyum. Ini agak menyentil saya, mengingat bagaimana seringnya saya mengeluh padahal jika dibandingkan, kesulitan saya ngga ada apa-apanya daripada mba Titi.

Titi tidak malu untuk kembali bersekolah demi selembar ijasah agar ia dapat pekerjaan yang layak untuk menghidupi anak-anaknya dan juga keluarganya di kampung. Senyum sumringah tak pernah pudar dari wajahnya. Ada yang lucu ketika Titi mengamen, menurutnya jika membawakan lagu-lagu bertemakan religius uang ‘kolekan’ biasanya lebih banyak didapat, “Biasanya mbak-mbak berjlbab itu susah banget dimintainnya, tapi kalo kita nyanyi lagu-lagu Islam gampang banget ngasihnya”, begitu kata Titi sambil terkekeh. Lucu menurut saya, bagaimana orang mudah sekali dimanpulasi pikirannya cuman dengan hal remeh semisal agama.

Banyak pelajaran yang bisa kita tarik melalui film ini. Seperti, apakah kita peduli dengan lingkungan sekitar?
Apakah kita peduli dengan hal-hal remeh yang terjadi? Seberapa burukkan kita memandang pengamen jalanan? Mereka bahagia menikmati hidup dengan keadaan yang serba pas-pasan, sedangkan kita seringnya terlalu sibuk mencari-cari kebahagiaan semu sehingga lupa bahwa bahagia itu seharusnya sederhana. Film ini bagaikan oase di padang pasir gersang. Seperti membawa angin segar ditengah perfilman Indonesia yang kebanyakan menawarkan tema seragam dan cengeng.

Jalanan Movie masuk kedalam film dokumenter terbaik setelah Babies, versi saya. Iya, Babies tetap ada di
nomor 1. Sudah puluhan kali saya nonton, tapi masih tetap merinding keunyuan. Belom nonton juga? Nonton deh mendingan, nanti cerita ke saya :D

Oh, iya soundtrack-nya Jalanan Movie asik juga  hihi :D

No comments:

Post a Comment