December 9, 2017

#ripiuicha: The Baddass Bish Named MARLINA.

Setelah berkeliling ke berbagai festival film di dunia, akhirnya Marlina mendarat juga di bioskop Indonesia. Film ini awalnya diberi judul ‘Perempuan’ oleh pemilik ide ceritanya, Garin Nugroho. Lalu diubah menjadi ‘Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak’ oleh sang sutradara, Mouly Surya.
Saya udah penasaran banget pengen nonton ini sejak nonton trailer-nya di yutup Mei lalu. Selain music scoring-nya  yang catchy, dari trailernya aja udah ketauan kalo film ini bakalan punya penataan sinematografi yang apik. Belum lagi ceritanya yang cukup unik, tentang perempuan yang nenteng-nenteng kepala manusia sambil naik kuda. Udah gitu nyantai pulak dia, padahal orang yang ngeliat udah pada ketakutan.

Okede, biar makin penasaran, saya kasih sedikit sinopsisnya yaa.

Jadi, Marlina ini adalah seorang janda yang baru aja ditinggal mati suaminya. Suatu hari, dia didatangi oleh komplotan perampok yang ingin menjarah harta bendanya (yaiyalah, namanya juga perampok. Kalo ngajakin senam poco-poco namanya bubibu PKK). Yang bikin ngeselin, perampok ini ngga cuma mau ngerampok tapi juga ngancem untuk memperkosa Marlina. Sampe sini, kebayang ngga gimana takutnya Marlina sebagai perempuan yang hidup di tengah sabana luas dan harus menghadapi 7 orang perampok SENDIRIAN? Kabur? Ngga mungkin. Dia tinggal di area jin buang anak, jauh dari mana-mana. Pilihannya cuma 2: ngelawan atau pasrah dirampok dan di-gang bang 7 orang. Sudah jelas, Marlina memilih untuk melawan dengan segala cara yang dia bisa. Gimana cara ngelawannya? Ya, nonton filmnya dong aah~

Ngga perlu banyak alasan untuk nonton film ini, cukup nonton trailer-nya. Dari situ aja saya udah ngerti banget kalo film ini bakalan mengeksploitasi abis-abisan (in a good way) cantiknya alam Sumba lewat penataan sinematografi yang artistik. Dan bener aja, pas nonton saya ngga habis-habsnya melongo karena kagum liat Sumba yang cantiiiiiiik banget. Mouly Surya pinter banget bikin kontur alam Sumba yang khas dengan sabana berwarna keemasan untuk menjadikannya layer antar babak. Banyaknya scene yang diambil secara statis seperti ngajak penonton untuk sejenak menghayati keindahan Sumba, dan gimana serba terbatasnya kehidupan di sana. Oh, ngga cuma kecantikan alamnya aja. Kita juga diajak mempelajari budaya khas Sumba dari wardrobe yang digunakan tiap pemain, mengunyah sirih dan budaya membungkus mayat keluarga di Sumba.

Alur cerita yang disampaikan per babak membuat cerita mudah dimengerti. Premisnya disampaikan di awal tiap babak, jadi penonton cukup membayangkan bagaimana premis ini akan disampaikan menjadi beberapa adegan dan percakapan. Meskipun begitu, ending dari film ini tetap ngga mudah ditebak. Awalnya saya pikir si Marlina ini akan ganti profesi jadi ketua perampok, menggantikan orang yang dia penggal kepalanya. Ternyata nggak. Endingnya jauh meleset dari tebakan saya (atau emang sayanya aja yang bloon nebak film haha).

Sekilas film ini gayanya mirip Kill Bill. Mulai dari premis yang dijadikan judul di tiap babak sampai ke music scoring yang mengingatkan dengan film-film koboy. Tapi, itu ngga bikin film ini jadi buruk, malah jadi hawa baru di tengah perfilman Indonesia yang kebanyakan cari tema yang aman-aman aja.
 
Oh, jangan lupakan akting yang diperankan oleh aktris dan aktornya. SUPERB BANGET! Entah berapa lama aktor dan aktris ini mempelajari logat Sumba sampe fasih kayak gitu. Kalo nonton sambil ditutup matanya (egimana?) pasti kita nyangka itu yang ngomong orang Sumba beneran saking fasihnya. Marsha Timothy juga sukses banget memerankan perempuan Sumba yang sederhana tapi kuat dan tangguh. Ngga heran dia berhasil mengalahkan Nicole Kidman jadi aktris terbaik di Sitges International Fantastic Film Festival.

Karakter-karakter yang ada di film ini juga sangat kuat. Dari awal nonton, saya udah kebawa emosi dengan kelakuan komplotan rampok yang emang pada minta digorok lehernya. Ada juga karakter seorang ibu yang dibawakan secara natural dan khas ibu-ibu yang suka kasih tips yang ajaib. Semua karakter dimainkan sesuai dengan porsinya, ngga berlebihan tapi ngga kekurangan.

Overall, Marlina saya kasih rating 5/5. Iya, segitu bagusnya sampe dikasih rating pol begitu. Ngga cuma bagus secara teknis, isu yang diangkat film ini juga penting banget untuk diketahui dan dibahas sama-sama. Tentang bagaimana perempuan sering direndahkan tempatnya, dianggap makhluk lemah tak berdaya sehingga wajar aja dipermainkan dan diancam seenaknya. Udah bukan rahasia umum lagi kalo perempuan korban perkosaan sering kali justru disalahkan dan digampangkan kasusnya.

Banyak yang bilang film ini terasa sangat feminis, tapi buat saya Marlina ini bercerita tentang perempuan-perempuan sederhana yang hanya tahu bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan memperjuangkan haknya. Oh, bagian paling menariknya (lagi) adalah meskipun Marlina tidak merasa berdosa membunuh perampok yang memperkosanya, dia tetap dihantui perasaan bersalah. Ini menunjukkan bahwa meskipun terlihat tangguh dan fearless, Marlina juga masih memiliki soft spot khas perempuan biasa (atau manusia pada umumnya).

Masih ngga percaya dengan review yang saya tulis? Silakan monggo tonton sendiri filmnya, kayaknya masih anteng tuh nangkring di bioskop-bioskop kesayangan Anda.

Ingat ya, pemirsa. Jangan bawa adik, anak, ponakan atau sepupu yang masih kecil di bawah umur untuk nonton film ini. Selain bakalan ganggu kalo ntar mereka bosen dan nangis, film ini juga terlalu brutal untuk mereka. Kasian, ntar jadi pada ngga doyan makan. Kalo ngga punya temen nonton, udah nonton sendiri aja ga papa. Ngga bakal ada yang tau juga kalo kalian ngga kasih tau.

Scene favorit. Baddass bish banget mukenya. Gambar nyomot dari sini

No comments:

Post a Comment