May 9, 2014

Tentang Pilihan



Pilihan, ngga ada yang mudah memang. Setiap pilihan adalah sebuah keputusan dan disetiap keputusan banyak pertimbangan berat dibelakanganya. Belum lagi konsekuensi yang diambil dari tiap pilihan itu sendiri. Kalo ternyata cocok dengan harapan, maka bisa jadi pilihan tepat. Tapi, kalo ternyata salah dan luput dari perkiraan ngga jarang jadi kecewa, banyak yang malah depresi.

Sudah seminggu ini saya bekerja di sebuah digital agency sebagai social media admin, profesi yang belakangan ingin saya geluti. Dan ternyata semesta mendukung, dengan kemampuan pas-pasan saya dari meng-admini akun komunitas Akber Bekasi ternyata masih ada yang menaruh harapan kepada saya dengan memberikan pekerjaan ini. Saya gembira, itu sudah pasti. Rasanya seperti cinta yang berbalas (aih!). Semua penantian dan harapan saya terjawab. Walaupun jarak kantor  yang bisa dibilang jauh dan berada di kawasan rawan macet, saya tetap semangat. Saya yang benci bangun pagi tiba-tiba bangun lebih dulu dari alarm. Saya yang mudah lelah dan sering mengeluh, menjadi penuh semangat. 

Lalu kemudian, saya menerima tawaran kerja via telepon dari sebuah bank syariah yang pernah saya kirimi surat lamaran kerja. Tentu saja saya langsung menolak, lha wong lagi cinta-cintanya sama yang sekarang trus ditawarin buat selingkuh. Hih enak aja!

Bodohnya saya, penolakan tersebut saya ceritakan ke Ibu. Bukan tindakan bodoh juga sih sebenernya kalo dipikirin lagi. Tindakan tersebut memang mangandung maksud. Saya ingin meyampaikan dengan halus bahwa saya tidak mau kembali ke ‘sangkar emas’ seperti dulu. Tapi yang luput dari perkiraan saya adalah reaksi Ibu dan perdebatan yang terjadi sesudahnya. 

Ibu meminta saya untuk kembali bekerja sebagai karyawan bank dan melepaskan profesi yang sekarang. Mendengar permintaan Ibu, sontak saya langsung menolak. Kemudian terjadilah perdebatan. Tentang bagaimana saya yang sedang menjalani seesuatu yang tidak pasti, tentang masa depan saya yang (juga) tidak pasti, tentang saya yang mulai membangkang dan tidak mau mendengar nasihat orang tua, tentang pergaulan saya yang mulai ngga beres dan saya mulai terpengaruh.

Ibu saya adalah orang yang cukup keras. Untuk saya anaknya, perintahnya adalah titah yang pantang dibantah dan pendapat dia adalah yang paling sahih, paling benar. Dari bayi hingga sekarang saya diam dan menuruti semua jalan yang dipilihkan Ibu. Tapi untuk kali ini, saya berontak. Saya menolak. Tidak ada lagi saya yang dulu penurut. Saya memilih jalan saya sendiri. 

Saya tidak benci sama sekali sama Ibu. Ibu untuk saya adalah manusia super yang patut saya tinggikan derajatnya dan saya banggakan keberadaannya. Namun, dalam banyak hal kami berseberangan. Saya tidak menyalahkan pendapat Ibu yang semata-mata demi kebahagiaan saya, tapi ada satu hal yang mungkin luput dia perhitungkan. Definisi bahagia tiap manusia itu berbeda, walaupun mereka bertalian darah seperti saya dan Ibu. Apa yang menurut Ibu membahagiakan, untuk saya sangat menyiksa. Sebaliknya, yang menurut saya membahagiakan, untuk Ibu tidak masuk akal dan rawan kegagalan.

Untuk Ibu, mohon ijinkan saya. Ijinkan saya menjadi diri saya apa adanya dan menjalani pilihan saya sendiri. Terima kasih untuk segala perhatian dan kekhawatirannya. Jika saya nanti terjatuh dan mungkin terseok-seok, biarlah. Karena ini semua pilihan saya. Saya yakin dengan sepenuh hati akan semua kerikil dan batu besar dari pilihan yang saya ambil. Saya harap, Ibu tetap disamping saya ketika saya jatuh nanti. Saya harap, Ibu masih mau menenangkan tangisan-tangisan kesakitan saya nanti sebagaimana Ibu dulu menenangkan tangisan rewel saya sewaktu bayi. 

Bu, maafkan saya jika, untuk entah yang berapa kali, kembali gagal memenuhi keinginanmu. Maafkan saya, karena kembali bikin Ibu kecewa dan patah hati. Ibu, maafkan saya.

Saya sayang Ibu. Selalu. Selamanya.

1 comment: