Pilihan, ngga ada yang mudah
memang. Setiap pilihan adalah sebuah keputusan dan disetiap keputusan banyak
pertimbangan berat dibelakanganya. Belum lagi konsekuensi yang diambil dari
tiap pilihan itu sendiri. Kalo ternyata cocok dengan harapan, maka bisa jadi
pilihan tepat. Tapi, kalo ternyata salah dan luput dari perkiraan ngga jarang jadi
kecewa, banyak yang malah depresi.
Sudah seminggu ini saya bekerja
di sebuah digital agency sebagai social media admin, profesi yang
belakangan ingin saya geluti. Dan ternyata semesta mendukung, dengan kemampuan
pas-pasan saya dari meng-admini akun komunitas Akber Bekasi ternyata masih ada
yang menaruh harapan kepada saya dengan memberikan pekerjaan ini. Saya gembira,
itu sudah pasti. Rasanya seperti cinta yang berbalas (aih!). Semua penantian
dan harapan saya terjawab. Walaupun jarak kantor yang bisa dibilang jauh dan berada di kawasan
rawan macet, saya tetap semangat. Saya yang benci bangun pagi tiba-tiba bangun
lebih dulu dari alarm. Saya yang
mudah lelah dan sering mengeluh, menjadi penuh semangat.
Lalu kemudian, saya menerima tawaran
kerja via telepon dari sebuah bank syariah yang pernah saya kirimi surat
lamaran kerja. Tentu saja saya langsung menolak, lha wong lagi cinta-cintanya sama yang sekarang trus ditawarin buat
selingkuh. Hih enak aja!
Bodohnya saya, penolakan tersebut
saya ceritakan ke Ibu. Bukan tindakan bodoh juga sih sebenernya kalo dipikirin
lagi. Tindakan tersebut memang mangandung maksud. Saya ingin meyampaikan dengan
halus bahwa saya tidak mau kembali ke ‘sangkar emas’ seperti dulu. Tapi yang
luput dari perkiraan saya adalah reaksi Ibu dan perdebatan yang terjadi
sesudahnya.
Ibu meminta saya untuk kembali
bekerja sebagai karyawan bank dan melepaskan profesi yang sekarang. Mendengar permintaan
Ibu, sontak saya langsung menolak. Kemudian terjadilah perdebatan. Tentang bagaimana
saya yang sedang menjalani seesuatu yang tidak pasti, tentang masa depan saya
yang (juga) tidak pasti, tentang saya yang mulai membangkang dan tidak mau
mendengar nasihat orang tua, tentang pergaulan saya yang mulai ngga beres dan
saya mulai terpengaruh.
Ibu saya adalah orang yang cukup
keras. Untuk saya anaknya, perintahnya adalah titah yang pantang dibantah dan
pendapat dia adalah yang paling sahih, paling benar. Dari bayi hingga sekarang
saya diam dan menuruti semua jalan yang dipilihkan Ibu. Tapi untuk kali ini,
saya berontak. Saya menolak. Tidak ada lagi saya yang dulu penurut. Saya memilih
jalan saya sendiri.
Saya tidak benci sama sekali sama
Ibu. Ibu untuk saya adalah manusia super yang patut saya tinggikan derajatnya
dan saya banggakan keberadaannya. Namun, dalam banyak hal kami berseberangan. Saya
tidak menyalahkan pendapat Ibu yang semata-mata demi kebahagiaan saya, tapi ada
satu hal yang mungkin luput dia perhitungkan. Definisi bahagia tiap manusia itu
berbeda, walaupun mereka bertalian darah seperti saya dan Ibu. Apa yang menurut
Ibu membahagiakan, untuk saya sangat menyiksa. Sebaliknya, yang menurut saya
membahagiakan, untuk Ibu tidak masuk akal dan rawan kegagalan.
Untuk Ibu, mohon ijinkan saya. Ijinkan
saya menjadi diri saya apa adanya dan menjalani pilihan saya sendiri. Terima kasih
untuk segala perhatian dan kekhawatirannya. Jika saya nanti terjatuh dan
mungkin terseok-seok, biarlah. Karena ini semua pilihan saya. Saya yakin dengan
sepenuh hati akan semua kerikil dan batu besar dari pilihan yang saya ambil. Saya
harap, Ibu tetap disamping saya ketika saya jatuh nanti. Saya harap, Ibu masih
mau menenangkan tangisan-tangisan kesakitan saya nanti sebagaimana Ibu dulu
menenangkan tangisan rewel saya sewaktu bayi.
Bu, maafkan saya jika, untuk entah
yang berapa kali, kembali gagal memenuhi keinginanmu. Maafkan saya, karena
kembali bikin Ibu kecewa dan patah hati. Ibu, maafkan saya.
Saya sayang Ibu. Selalu. Selamanya.
Hmmm... Lanjutkan nulisnya.. Bagus.
ReplyDelete